Sanggahan Kematian Prosa Surabaya
Empat belas cerpen di buku ini memperlihatkan bahwa dunia prosaSurabaya terus menggeliat. Kesamaan memaknai realitas sosial melemahkan sekaligus menguatkan
SECARA nasional, terdapat asumsi umum bahwa Surabaya lebih familier disebut sebagai basis penyumbang puisi ketimbang pabrik perajin prosa. Anggapan itu cukup beralasan lantaran pada saat para penyair yang pernah ditempa dalam kawah candradimuka Kota Pahlawan masih memberi andil menata sejarah sastra Indonesia, habitat prosa di ibu kota Jawa Timur ini justru mengesankan suasana adem ayem, diam, lembam, vakum, beku, mandul, atau lebih parah lagi sedang berada dalam kondisi mati suri.
Dalam peta kognitif kesusastraan nasional, tersirat dengan jelas bahwa laju gerbong prosa Surabaya pernah didorong oleh nama-nama besar semacam Suparto Brata, Shoim Anwar, dan Budi Darma. Kemudian, kendali kemudi tersebut berhasil dilanjutkan secara fenomenal oleh Sony Karsono dan Mashuri. Sayang, alur yang terjadi setelah itu: antiklimaks. Gerbong berhenti mendadak.
Gerbong yang berhenti tersebut adalah suatu penanda kekosongan kreativitas sedang melanda dunia prosais Surabaya. Ketiadaan estetika, nol moral, serta hampa intelektual, demikian kalangan kritikus sastra gemar merumuskan keberadaan alam prosa Surabaya mutakhir. Lantas, benarkah sudah sedemikian parah keadaan prosa Surabaya? Sebenarnya tidak.
Simak saja surat kabar lokal maupun nasional keluaran akhir pekan pada kolom budaya, dan Anda akan menemukan bahwa asumsi tentang prosais Surabaya tadi tidak pada tempatnya. Sebab, di berbagai media tersebut, banyak sekali bertebaran karya para prosais Surabaya. Amati pula tumpukan buku kumpulan cerpen maupun novel di toko-toko buku sekeliling Anda.
Anda akan menemukan berjubel tawaran kisah dan gagasan yang menakjubkan dari para penggiat sastra Surabaya. Bukankah setidaknya tawaran-tawaran semacam itu bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam mewarnai kerangka kesejarahan sastra Indonesia?
Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Mozaik Ingatan merupakan salah satu wujud sanggahan kematian dunia prosa Surabaya. Buku yang diterbitkan Penerbit Leutika Prio Yogyakarta 2011 tersebut memuat 14 cerpen yang pernah terpublikasi di media massa lokal maupun nasional – beberapa karya dipilih dengan pertimbangan pernah meraih penghargaan pada festival tulis-menulis di tingkat lokal maupun nasional.
Empat belas karya tersebut ditulis oleh tujuh cerpenis muda yang terhimpun dari satu komunitas Cak Die Rezim (CDR). Mereka adalah Agus Budiawan, Arief Junianto, Eko Darmoko, Finsa E. Saputra, Itok Kurniawan, Rangga Agnibaya, dan R. A. Pujayanto.
Selain menyajikan kualitas karya dengan aroma khas berkualitas terbaik yang dapat dipertanggungjawabkan, Mozaik Ingatan juga menghadirkan satu tulisan khusus, yakni naskah kritik. Kritik atas empat belas cerpen, lebih tepatnya, Bramantio, salah seorang pemenang Sayembara Telaah Sastra DKJ 2007 dan Sayembara Telaah Sastra DKJ 2009, didaulat menelaah keseluruhan karya Mozaik Ingatan.
Membaca pemaparan Bramantio, pembaca tidak perlu risau atau tidak perlu menyangsikan bakal tidak mendapatkan telaah yang murni, netral, dan jujur.
Dalam Mozaik Ingatan, Bramantio memilih berdiri secara indipende pada saat membedah karya. Dengan kebebasan tersebut, Bramantio berhasil menemukan struktur bangunan kisah yang dikentarai janggal, menyampaikan makna-makna implisit tanpa terbebani tanggung jawab, hingga dia dapat menentukan benang merah pengikat keseluruhan karya.
Selain itu, eksistensi sebuah komunitas, menurut Bramantio, selain menghasilkan output positif, juga memberikan efek sebaliknya. Blunder. Dapat menghambat pengarang memperkaya wawasan. Mau tidak mau hanya ada satu faktor yang pantas dikambinghitamkan, yakni komunitas. Intensitas kebersamaan, tanpa sadar, memengaruhi pembentukan kesamaan sudut pandang tujuh cerpenis muda Surabaya tersebut.
Tetapi, uniknya, pembaca akan diajak memasuki suatu perasaan yang menghanyutkan bahwasanya kelemahan yang tampak di mata kritikus yang juga berprofesi sebagai dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya ini justru membentuk kumpulan cerpen Mozaik Ingatan sebagai salah satu karya yang memiliki karakter kuat. Dengan demikian, kelemahan justru merupakan keunggulan tersendiri yang patut diapresiasi dalam kumpulan cerpen Mozaik Ingatan. (*)
*Risang Anom Pujayanto. Penulis, tinggal di Surabaya.
Jawa Pos 26 Juni 2011