Judul Buku : The Road to The Empire
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, 2008
Jumlah Halaman : 586 halaman
Penyunting : Maman S. Mahayana & Taufan E. Prast
Sastra seringkali diyakini sebagai sesuatu yang mampu mengungkap segala yang tak terungkap dalam kehidupan manusia. Bahkan sesuatu yang tidak bisa diungkap oleh jurnalistik yang tajam dan ilmu pengetahuan yang ilmiah sekalipun, terkadang bisa diungkap oleh sastra, karena sastra adalah dunia yang sangat luas dan bebas. Novel The Road To The empire karya Sinta Yudisia adalah salah satu karya sastra yang mencoba mengungkap persoalan yang hampir terlewatkan dalam sejarah, khususnya sejarah perkembangan islam di Asia.
Takudar Khan, adalah salah satu nama dalam sejarah perkembangan islam di Asia Timur yang ingin di ekspos dalam novel the Road To The empire ini. Salah seorang putera Mongol keturunan kaisar Jenghiz Khan yang memantapkan diri menjadikan islam sebagai agama dan tumpah darahnya.
The Road To The Empire merupakan sekuel ke tiga dari dua novel sebelumnya, sebuah janji (Gema Insani, 2004) dan The Lost Prince (Gema Insani, 2007). Dalam sebuah janji, diceritakan perjumpaan kaisar Tuqluq Timur Khan dengan Syekh Jamaluddin di padang Sahara ketika ia sedang berburu. Dari pertemuan itu Tuqluq Timur Khan sangat kagum dengan keagungan akhlak syekh Jamaluddin. Setelah terlibat perdebatan panjang,tahulah Timur Khan bahwa akhlak mulia itu berasal dari sebuah ajaran islam yang dianut Syekh Jamaluddin. Akhirnya mereka mengikat sebuah sumpah Anda (sumpah persaudaraan khas mongol, dua orang menyayat ibu jari hingga meneteskan darah lalu disatukan sebagai symbol persaudaraan). Kemudian Timur Khan berjani akan menyatakan dirinya untuk memeluk islam sebagai agamanya setelah tercapai cita-citanya untuk menyatukan kembali wilayah Mongol yang telah terpecah karena perang saudara antar putra-putra Jhengis Khan yang berebut kekuasaan. Mereka berjanji akan bertemu lagi suatu saat untuk memenuhi janji. Sebelum menepati janjinya Timur khan teleh meninggal lebih dulu dalam sebuah penyerangan yang direncanakan oleh oknum dari istana sendiri yang tidak suka akan kebijakannya. Janji itu kemudian diwasiatkan pada putera pertamanya, Takhudar Khan karena dinilai Takudar-lah yang paling dewasa dan paling mewarisi sifat-sifat bijaksana Timur Khan. Pada saat penyerangan itu Takudar berhasil meloloskan diri ke wilayah barat bersama dayangnya Uchatadara. Diperjalanan mereka bertemu dengan Rasyiduddin atau lebih dikenal dengan nama samaran Salim, anak Syekh Jamaluddin. Lalu Takudar dan Uchatadara tinggal sementara di pesantren Babussalam milik Rasyidudin sampai keadaan membaik.
Kehidupan Takudar di Babussalam kemudian diceritakan dalam sekuel kedua, The Lost Prince. Di sini diceritakan Takudar sangat tertarik dengan akhlak orang-orang Babussalam yang memuliakannya. Sama sekali tidak ada dendam dalam diri mereka kepada orang Mongol yang pada masa pemerintahan Jenghiz Khan telah membantai suku mereka habis-habisan, terutama yang berada di Persia. Takudar pun akhirnya memutuskan untuk memeluk islam dan berjanji untuk berjuang demi perkembangan ajaran islam. Namanya pun lantas dirubah menjadi Muhammad Khan. Sementara sepeninggal Tuqluq Timur Khan, pemerintahan jatuh ke tangan Arghun khan, adik Takudar Khan. Arghun adalah sosok pemimpin yang kejam yang sangat berambisi melakukan penaklukan di berbagai negeri tanpa memperhatikan kondisi negerinya sendiri yang sedang terpuruk dalam perekonomian dan pangan. Penindasan terjadi di wilayah-wilayah yang dihuni umat muslim, yang konon dicurigai sebagai sarang pemberontakan atas hasutan orang kepercayaannya, Panglima Albuqa Khan.
Hal itulah yang menyebabkan Rasyiduddin berinisiatif untuk menghentikan penindasan dengan bantuan Takudar. Beberapa tokoh berpengaruh dari sahabat ayahnya, Syekh Jamaluddin dikumpulkan untuk mempersiapkan penyerangan pada pemerintahan yang lalim. Selain itu penyerangan ini juga bertujuan untuk mewujudkan cita-cita besar membumikan ajaran islam di tanah Mongol. Namun, tidak di sangka, Takudar Khan yang sangat diandalkan dalam misi ini justru yang paling tidak yakin. Ia mengalami pergolakan batin yang dalam. Ia dihadapkan pada dua pilihan, antara harus membela agama yang dianutnya dan harus melawan adiknya sendiri, kaisar Arghun Khan. Pergolakan batin Takudar dan segala perdebatannya dengan Rasyidudin dan teman-teman Syekh Jamaluddin digambarkan dengan sangat apik dan mengalir dalam novel The Lost prince ini.
Dibanding kedua sekuel sebelumnya, The Road To The Empire bisa dikatakan sekuel yang paling seru. Dalam novel ini konflik-konflik yang terjadi semakin kompleks. Pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan kaisar Argun Khan mulai menyusun rencana untuk menghancurkan tahta, baik dari pemerintahan sendiri yang haus kekuasaan maupun dari pihak luar. Tak ketinggalan Rasyiduddin dan Takudar yang jauh-jauh waktu sudah mempersiapkan segalanya semakin gencar menghimpun kekuatan. Strategi mulai disusun secara rapi mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Perlengkapan dan senjata dipasok dari berbagai seumber. Para pasukan, panglima, dan pimpinan perang melatih kemampuan bertempur masing-masing. Tak lupa kekuatan ruhiyah tiap-tiap individu juga terus diasah. Persiapan-persiapan tersebut diceritakan dengan begitu detil dan mendalam.
Klimaks dalam novel ini dimulai ketika pasukan Takudar menghadang perjalanan pasukan kaisar Arghun Khan, adiknya yang ingin pergi ke Barat untuk menaklukan Jerusalem. Dengan strategi yang cukup jitu mereka berhasil melumpuhkan 50 ribu pasukan kaisar Arghun Khan. Namun karena jumlah pasukan pihak Takudar yang sangat minim, akhirnya mereka takhluk pada pasukan Arghun Khan yang jauh lebih banyak. Takudar berhasil lolos, namun semua panglima perangnya berhasil ditawan dan disiksa Arghun Khan. Akhirnya masa yang paling ditakuti Takudar pun datang. Untuk menyelematkan sahabat sekaligus panglima-panglima perangnya Takudar muncul ke medan perang untuk menantang Arghun berduel dengannya.
Dalam pertarungan duel satu lawan satu tersebut, pihak Arghun Khan melakukan kecurangan-kecurangan. Hal itulah yang menyebabkan beberapa panglima Arghun Khan yang merasa berjiwa ksatria merasa jijik dengan cara-cara kotor tersebut dan kemudian berpihak pada Takudar yang bertarung secara jujur dan ksatria. Pasukan Arghun Khan pun terpecah menjadi dua. Pihak, yang membela Argun dan Takudar. Perang sengit kembali tersulut. Sahabat-sahabat Takudar yang ditawan berhasil meloloskan diri dan turut bertempur bersama Takudar. Kemenangan pun akhirnya memihak Takudar. Kemudian Pemerintahan jatuh ke tangan Takudar, dan Arghun Khan dihukum penjara, karena Takudar tak sampai hati menghukum adik kandungnya sendiri dengan hukuman mati. Dengan kekuasaan di tangan, Takudar bercita-cita untuk menjalankan kepemimpinan secara adil dan juga menyebarkan keindahan islam ke segala penjuru bumi.
Kedetilan dan kedalaman penggambaran kisah peperangan memang menjadi kekuatan utama novel ini. Melalui rangkaian kata yang disajikan, pembaca akan digiring pada suasana perang seperti dalam film-film kolosal, lengkap dengan suara pedang yang berdenting, gemuruh semangat yang berkobar dan lantunan genderang perang yang bersahutan. Tak ketinggalan juga filosfi perjuangan yang dianut oleh kedua belah pihak disampaikan sangat gamblang. Dalam suatu pertempuran, Arghun Khan dan pasukannya hanya berorientasi pada penaklukan dan pembantaian yang notabene filosofi ini digunakan oleh leluhurnya yang agung, Jenghgiz Khan. Sedangkan Takudar Khan dan pasukan kaum muslimnya sangat berbeda sekali dalam memahami sebuah peperangan, seperti yang tertulis pada halaman 92 sebagai berikut; … tujuan dari perjuangan para ulama dan salafusshalih bukanlah peperangan, penaklukan atau apapaun bahasa yang serupa dengan itu.islam adalah rahmatan lil a’lamin….. tujuan kita, tujuan anda, pangeran Muhammad Khan, adalah menuju Ulan Bataar menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Tak ada lagi peperangan. Tak ada pembunuhan. Tak ada kekejaman. Segala yang ditebarkan hanyalah kebajikan dan kemuliaan.
Selain itu, dalam novel ini juga mencoba menguak sisi lain dari Jenghiz Khan yang dikenal sangat kejam dan tidak beradab. Disini diterangkan bahwa Jengiz Khan melakukan penaklukan bukan tanpa alasan. Ketika Jengiz Khan menguasai Negara taklukannya, ia tetap berlaku adil dan terus menyejahterakan mereka. Berbeda dengan pemerintahan Arghun Khan yang hanya mementingkan perang dan tak peduli bahwa rakyatnya sedang sengsara. “Leluhur kita, Jenghiz Khan, melakukan penaklukan ekspedisi ke empat penjuru mata angin demi memajukan kesejahteraan rakyatnya. Ketika ambisinya makin melampaui batas, ia diperingatkan oleh rahib Chang Chun, pada akhirnya ia menarik mundur pasukan dan menyadari telah melangkah terlalu jauh sekalipun cita-cita terbesarnya adalah menguasai seluruh dunia.” (hal. 530)
Terlihat bahwa pengarang bermaksud untuk manunjukkan keindahan islam pada masyarakat luas. Kalaupun ada peperangan dan kekerasan dalam islam, semua itu ditujukan untuk membela kehormatan dan martabat manusia. Bukan untuk menebar amarah dan kebencian. Dalam pelaksanaannya pun juga ada adab-adab dan aturan yang harus dijaga agar tidak merusak dan merugikan sesama manusia dan lingkungan sekitar.
Terlepas dari itu semua, novel ini juga berhasil menyajikan sisi lain dari sejarah perkembangan islam di wilayah Asia Timur., khususnya di Mongolia. Sebuah kisah dan nama-nama besar yang hampir luput dari pencatatan sejarah Asia dan juga sejarah perkembangan islam. Jumlah halaman yang lebih tebal dari sekuel-sekuel sebelumnya, menunjukkan bahwa pengarang menggarap novel ini dengan lebih tekun dan lebih serius untuk melakukan riset-riset untuk memperkuat gambaran penceritaan, terutama dalam hal seting dan seluk beluk peperangan. Tidak berlebihan rasanya kalau buku ini mendapatkan penghargaan sebagai buku terbaik versi IKAPI-IBF Award 2009 kategori fiksi.
Di tengah maraknya cerita-cerita dan komik-komik Asia yang memenuhi toko-toko buku kita, The Road To The empire bisa menjadi alternatif bacaan lain yang juga mengisahkan cerita yang heroik tanpa mengurangi nilai-nilai moral dan keluhuran islam. Bagi peminat sejarah, novel ini dapat menjadi referensi baru tentang sejarah Asia.
Peresensi : Asril Novian Alifi
Mahasiswa FIB Unair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar