“Cermin Merah seperti saluran air yang mampat. Ia menyimpan kepedihan psikis anak manusia yang gelisah: mempertanyakan sang ayah yang hilang diterkam politik tahun 1965, kakak yang tewas dalam pendakian gunung, menggelandang di ibukota atau menikmati percintaan yang tak lazim. Novel yang sangat filmis ini seperti sengaja berakhir tak selesai. Sejumlah pertanyaan menggantung tak berjawab.” Itulah kesimpulan yang dapat saya tangkap selepas membaca (naskah) novel ini. Sebuah kesimpulan yang sangat umum dan tentu saja belum menjelaskan apa-apa.
Sesungguhnya banyak aspek yang dapat kita angkat dari novel ini. Secara struktural, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol, yaitu (1) penokohan yang dalam proses karakterisasinya –memakai ungkapan Nano—membrodol sejumlah pertanyaan tak berjawab, (2) tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar entah sampai kapan. Semua seperti dihadirkan begitu saja sebagai pengejawantahan kemarahan yang tak terucapkan; kepedihan yang tak perlu ditangisi, tetapi tokh kerap mencuat dan mengganjal; atau harapan-harapan yang kandas, tetapi coba dibangun kembali lewat bayang-bayang, dan (3) alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini. Sementara, bagian awal yang semula digunakan sebagai sintesis tentang kehidupan tokoh utama, kini menjadi bingkai yang mengawali dan menutup rangkaian semua peristiwa dalam novel ini.
Kisahnya sendiri disajikan secara konvensional, meski pengarang mengolah kembali bangunan ceritanya dengan memanfaatkan serangkaian peristiwa kilas-balik.
Arsena –tokoh aku—berasal dari lingkungan keluarga sederhana. Semasa SMA, ia masuk dalam pesona teman sebangkunya, Anto –yang wandu. Itulah pengalamanan pertamanya “bercinta”. Dalam keluarga dan lingkungan sosial, sang Kakak, Herman, menjadi pusat orientasi. Ketika masa pembentukan pribadi sedang dalam proses, sang Kakak tewas dalam pendakian gunung. Anto, bersama ibunya, juga tewas dalam sebuah kecelakaan. Belum lepas dari kedua tragedi itu, Ayah yang diyakininya tak pernah bermasalah, tiba-tiba diculik dan dinyatakan terlibat G 30 S PKI. Sebuah vonis yang berimplikasi sangat dahsyat dan sisi negatifnya menepel terus jauh ke depan.
Lulus SMA, Arsena merasakan, vonis itu menjelma kuburan. Ia lalu hijrah ke Jakarta. Berkat bantuan Hilman, kawan kakaknya, ia mulai menata hidupnya. Mulai lahir kegairahan. Berkenalan dengan Nancy yang kemudian menjadi kekasih abadi. Juga berkenalan dengan Edu –yang dalam bayangan Arsena sebagai “reinkarnasi” dua sosok manusia: Herman –kakaknya dan Anto “cinta pertamanya”. Ternyata magnet Edu terlalu kuat. Arsena tak dapat melepaskan diri dari gerayang si gay itu. Ia lupa segalanya, lupa pula pada Nancy yang belakangan tewas lantaran abortus.
Segalanya seperti berantakan. Ia ingin lepas dari Edu, sekaligus juga tak hendak keluar dari ketiaknya. Sikap ambivalensi itu seperti terus-menerus lengket menempel mengganggu batin-pikirannya. Dan pada saat tertentu, tumpah semua dalam wujud bayangan Ayah, Nancy, Anto, Herman, hingga ia memutuskan masuk ke dalam “Lubang Putih Bercahaya”. Pertanyaannya: bagaimana nasib Arsena, si tokoh aku itu? Matikah atau masih sempat natal bersama Ibu dan adiknya?
***
***
Ringkasan tadi niscaya tidak mewakili keseluruhan isi teks Cermin Merah. Meski begitu, setidak-tidaknya, ia dapat digunakan sebagai alat untuk membentangkan benang merah kisah Arsena –Aku—yang menjadi tokoh utama novel ini.
Dalam konteks mengusung inovasi, Cermin Merah tak menawarkan gebrakan estetik. Meski demikian, gaya berceritanya yang filmis, lincah dan jernih, menunjukkan bahwa pengarangnya masih menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya ditumpahkan dalam novel ini. Periksa saja, misalnya, deskripsi tentang malam perdana pentas sandiwara yang mengawali karier kesenimanan tokoh Aku. Selama 30 menit menunggu layar dibuka, pengarang berhasil mengungkapkan banyak hal (hlm. 114—129) yang mengingatkan kita pada gaya Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya, Alexandre Solzhinitsin dalam Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch, atau Gustave Flaubert dalam Madame Bovary ketika tokoh Emma menghadapi proses kematian ia setelah menenggak racun. Jadi, dalam soal penyajian cerita, Nano Riantiarno tampak sangat matang dan peduli pada detail.
Sebagaimana disinggung tadi, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol dalam novel ini, yaitu penokohan, tema, dan penyajian alur cerita. Mari kita periksa:
(1) Dilihat dari aspek penokohan, pengarang tampaknya masih banyak menyimpan kegelisahan subjektifnya dalam memandang dan menempatkan tragedi G 30 S PKI. Tokoh Aku –Arsena— dan Ibunya, jelas merupakan korban tak bersalah dari ratusan ribu korban lain yang sangat mungkin mengalami peristiwa yang lebih dahsyat lagi –seperti yang dialami tokoh tukang beca. Tetapi, korban utamanya, Ayah, seperti sengaja dibiarkan sebagai misteri: apakah benar terlibat atau sekadar fitnah. Jika di bagian awal, tokoh Aku gigih membela Ibu dan tetap berkeyakinan bahwa Ayah tak bersalah, lalu mengapa ia dipersalahkan hanya lantaran Ayah tak (sempat) memberi penjelasan. Apakah ini bentuk pemaafan –atau kompromi— utnuk melupakan masa lalu yang kelam dan menatap masa depan yang lebih rekonsiliatif?
Ke mana pula “lenyapnya” tokoh Johari –teman sekelas tokoh Aku—dan terutama Ayah Johari yang menjadi salah sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama Aparat Keamanan (: Penguasa)? Keengganan pengarang untuk menghadirkan kembali kedua tokoh itu sangat mungkin pula sebagai bentuk pemaafan itu.
Peranan tokoh-tokoh itu memang berbeda dengan Herman—Sang Kakak, Anto, Hilman –sutradara, Edu, dan Nancy yang secara psikologis menjadi bagian penting bagi pembentukan karakter tokoh Aku. Dari sudut itu, novel ini jelas menyajikan sebuah problem psikologis yang kompleks. Penyimpangan yang dilakoni tokoh Aku dengan nyaman dan kadang kala dirasakannya menjijikkan itu, terbangun dari kenangan indah masa lalu (nostalgia) dan sekaligus juga sebagai pelarian dari sebuah trauma kehilangan (Kakak dan Anto yang tiba-tiba tewas). Demikian juga kenikmatan bersebadan dengan Nancy, di satu pihak menghadirkan rasa bersalah, dan di pihak lain menyedot tokoh Aku lebih jauh dalam ketiak Edu.
Problem psikologis yang disajikan sedemikian rupa lewat kegelisahan, letupan-letupan hasrat terpendam, dan kemenduaan cinta Arsena –Edu yang gay dan Nancy— di satu pihak seperti hendak membiaskan kisah tragedi G 30 S PKI, dan di pihak lain, justru hendak memperkuat, betapa tragedi itu berimplikasi jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan ayah atau sanak keluarga. Trauma psikologis yang tak gampang disembuhkan dan menempel terus selama hidup. Kasus yang dialami Arsena adalah salah satu contoh. Contoh lain, sangat mungkin lebih dahsyat lagi.
Cara “mematikan” tokoh-tokohnya (Herman, Anto, Nancy) yang terkesan begitu gampang itu, di satu pihak, pengarang terkesan terlalu memokuskan diri pada tema cerita, dan di pihak lain, justru sengaja untuk memperkuat problem psikologis tokoh aku. Dengan kematian, rasa kagum, cinta, benci, dan bersalah, jauh lebih kuat dibandingkan jika tokoh-tokohnya masih hidup.
Tokoh-tokoh lain sesungguhnya masih mengundang problem tersendiri. Tokoh Hilman, Sang Sutradara, misalnya, seperti dilenyapkan begitu saja, padahal ia juga salah satu tokoh yang memungkinkan tokoh Arsena makin terpuruk oleh rasa bersalah.
(2) Tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar itu seperti sebuah selimut yang menutupi subjektivitas pengarangnya dalam mencemooh penguasa. Sumber segala penyimpangan itu, tidak lain, adalah penculikan Sang Ayah. Tak jelas kesalahannya, tak jelas keberadaannya, tak jelas pula keterangan yang diberikan pihak aparat keamanan adalah penyimpangan yang dilegitimasi atas nama negara. Penyimpangan ini menularkan pula penyimpangan lain. Satu di antaranya menyangkut hubungan janjan dan jantina. Ekses-ekses lain tentu saja dengan gampang dapat kita tunjuk berbagai penyimpangan lain yang terjadi di sekitar kita. Artinya, tindakan apapun yang menyimpang yang dilakukan penguasa, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi orang per orang, tetapi juga bagi bangsa yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, tampak benar kehati-hatian pengarang berpengaruh pada struktur formal karyanya. Kasus penculikan Ayah seperti dibiarkan begitu saja menggantung dan menjadi misteri. Ia menjadi pertanyaan yang tak berjawab; saluran air yang mampat dan mengocor (: menyimpang) ke arah yang lain. Dan itu diselusupkan pada diri tokoh Aku yang tak banyak menggugat dan mempertanyakan keberadaan sang ayah. Ia berkutat pada persoalan dirinya sendiri, meski kemudian ia juga tidak bisa keluar dari lingkaran persoalan yang diciptakannya sendiri.
Secara tematik, percintaan menyimpang model ini boleh dikatakan sebagai hal yang baru –apalagi jika benar novel ini sudah diselesaikan tahun 1973. Jadi, jika belakangan ini bermunculan novel yang mengangkat persoalan homoseksual atau lesbianisme, Cermin Merah sudah mendahului zamannya.
(3) Alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini.
Jika disusun secara kronologis, novel ini sebenarnya dimulai dari kisah “Anto si Kenes Berbakat” (hlm. 61) dan terus berlanjut sampai “Apel Merah Gairah Terpendam” (hlm. 82—96). Bagian awal yang bertajuk “Lubang Putih Bercahaya” sesungguhnya merupakan sintesis dari keseluruhan kisah novel Cermin Merah yang kemudian dimunculkan lagi di bagian akhir. Sedangkan bagian yang bertajuk “Secangkir Kopi dan Bogenvil” (hlm. 97—104) merupakan kelanjutan dari kisah bagian yang bertajuk “Dalam Benteng Kemustahilan” (hlm. 55—60). Demikian, pengarang seperti bersengaja bolak-balik mempermainkan ingatan si tokoh aku. Dengan bentuk kilas balik seperti itu, maka pengarang sesungguhnya hendak menarik-ulur tegangan dan sekaligus juga “menguji” tingkat apresiasi pembaca.
Teknik model itu tentu saja bukan hal yang baru dalam perjalanan novel Indonesia modern. Tetapi, setidaknya pengarang tidak terjebak pada bentuk penceritaan yang teguh berpegang pada bentuk konvensional.
***
***
Secara keseluruhan, unsur-unsur yang membangun struktur novel Cermin Merah, harus diakui memperlihatkan kekompakan dan koherensi yang kokoh sebagai sebuah kesatuan integral. Artinya, tema penyimpangan dengan karakterisasi tokohnya yang berlatar belakang problem psikologis yang kompleks, dan didukung oleh pola penceritaan yang memanfaatkan bentuk kilas-balik, keseluruhannya menjadi sangat fungsional. Unsur yang satu tidak dapat dipisahkan begitu saja dari unsur lainnya. Jadi, segenap unsurnya itu hadir sebagai satu kesatuan.
Meskipun demikian, kecenderungan pengarang untuk memasukkan komentarnya, kadang-kadang seperti mencolot begitu saja. Justru dalam hal itulah, hubungan intim pembaca dan teks, acap kali terganggu. Komentar itu seperti menyadarkan pembaca, bahwa ada jarak yang tegas antara pembaca dan teks. Padahal, proses pembacaan bagi pembaca adalah sebuah penyatuan hubungan yang memungkinkan pembaca sampai pada apa yang disebut sentuh estetik. Sebuah kenikmatan estetik yang menyelusup –tanpa sadar—masuk ke dalam segenap rasa dan imajinasi pembaca. Perhatikan kutipan berikut:
Akan kuceritakan segera, runtut, sabarlah (hlm. 187)
Dia, yang kuceritakan sejak awal lakon ini (hlm. 220)
Dia datang. Dia, yang kukisahkan sejak awal tulisan ini. (hlm. 238) dst.
Pertanyaannya: Jika kutipan-kutipan itu dihilangkan, apakah makna keseluruhan cerita dalam novel itu akan terganggu? Jika tidak, itulah yang disebut hingar –gangguan komunikasi antara pembaca dan teks.
***
Terlepas dari apa yang diuraikan dalam catatan kecil ini, Cermin Merah jika dianalisis lebih jauh dan mendalam sesungguhnya menyimpan banyak hal yang menarik. Saya sendiri melihat, potensi pengarang belum sepenuhnya tumpah dan mengejawantah dalam novel ini. Dalam hubungan itulah, saya amat yakin, tak lama lagi novel monumental akan segera lahir dari tangan seorang Nano Riantiano. Kita tunggu saja.
(Maman S. Mahayana, Pensyarah).
Lihat komentar dalam backcover. Komentar itu didasarkan pada pembacaan saya atas naskah novel Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Ketika saya membaca buku ini, ada sejumlah perubahan penting yang tidak hanya mengubah struktur cerita, tetapi juga makna yang tersimpan di dalamnya. Menyesal sekali naskah aslinya saya serahkan ke penerbit Grasindo, sehingga perbandingan secara detail, tidak dapat saya lakukan. Dalam ilmu sastra, perbandingan antara teks asli dan teks yang sudah berujud cetakan (buku) termasuk ke dalam wilayah kajian teks dan pra-teks. Kajian ini akan mengungkapkan berbagai faktor eksternal di luar teks, seperti keterlibatan penerbit, editor, dan hasrat pengarang untuk menafsir ulang dan memberi makna baru pada karyanya. Bagaimanapun, bagi kritikus, setiap tanda dalam teks, mesti dicurigai menyodorkan makna tertentu. Oleh karena itu, terjadinya perubahan dari teks asli ke teks cetak menjadi sangat penting untuk membongkar berbagai faktor eksternal itu.
Seingat saya, struktur cerita dalam naskah pertama Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah peserta Sayembara Penulisan Novel DKJ 2003, disusun secara kronologis. Dalam proses penerbitan naskah itu, pengarang agaknya melakukan banyak perubahan yang menyangkut urutan peristiwa yang mengeksploitasi bentuk kilas balik dan penambahan beberapa bagian yang menjadi penutup cerita novel ini. Bagian awal “Lubang Putih Bercahaya” misalnya, dalam buku ini seperti sengaja digunakan sebagai bingkai; peristiwa awal muncul kembali di bagian akhir –yang mengingatkan saya pada pola drama absurd. Periksa misalnya, drama Dag-Dig-Dug Putu Wijaya. Hal yang juga dilakukan Agus R. Sarjono dalam naskah drama pertamanya, Atas Nama Cinta (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004).
Bandingkan problem psikologis tokoh Arsena ini dengan tokoh Hasan (Atheis) atau Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung). Cermin Merah memperlihatkan kematangan pengarangnya dalam bidang psikologi. Bandingkan dengan novel-novel yang terbit belakangan ini yang cenderung mengabaikan persoalan itu, Cermin Merah seperti menjulang sendiri dalam konteks novel sejenis sastra Indonesia kontemporer.
Bandingkan kritik Nano Riantiarno terhadap penguasa dalam sejumlah dramanya dengan kritik yang disampaikannya dalam novel Cermin Merah.
Dalam naskah pertama yang saya baca, bagian akhir yang berjudul “Lubang Putih Bercahaya” sebenarnya tak ada. Jadi, tanpa ada penambahan bagian akhir itu, makna keseluruhan cerita dalam novel ini, tetap tidak terganggu. Penambahan itu boleh jadi sebagai penegasan kembali nasib yang dialami tokoh aku.
(Maman S Mahayana, pengajar FIB-UI, Depok
SUMBER: mahayana-mahadewa.com